Ketika kita menaati pemimpin kita, mungkin timbul dari diri kita perasaan rendah dan hina karenanya.
Apakah seorang muslim benar-benar menjadi rendah dan hina karena menaati pemimpinnya?
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59)
Allah telah memerintahkan untuk menaati pemimpin. Apakah Allah akan menghinakan kita karena menaati perintah-Nya?
Nabi ﷺ bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam perkara yang ia sukai maupun yang ia benci, kecuali jika ia diperintahkan untuk berbuat maksiat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi ﷺ telah memerintahkan untuk menaati pemimpin. Apakah Allah akan menghinakan kita karena menaati perintah nabi-Nya?
Kita tidak akan terhina karena menaati pemimpin kita. Bahkan, kalaupun pemimpin tersebut fasik dan zalim, kita tidak akan terhina karena menaatinya dalam perkara yang baik.
Nabi ﷺ bersabda:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Dan akan muncul di antara mereka orang-orang yang berhati setan dalam wujud manusia!”
Hudzaifah bertanya:
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟
“Apa yang harus kulakukan wahai Rasulullah jika aku mendapati yang demikian?”
Beliau ﷺ menjawab:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin. Walaupun dipukul punggungmu dan diambil hartamu, maka tetaplah dengar dan taat!” (HR. Muslim)
Syekhul Islam berkata:
كَانَ مِنْ الْعِلْمِ وَالْعَدْلِ الْمَأْمُورِ بِهِ الصَّبْرُ عَلَى ظُلْمِ الْأَئِمَّةِ وَجَوْرِهِمْ كَمَا هُوَ مِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
“Termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan yaitu bersabar terhadap kezaliman dan kesewenang-wenangan para pemimpin, sebagaimana itu termasuk prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa)
Ya, itulah prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka membenci kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Dan mereka berusaha semaksimal mungkin menasehatinya agar ia meninggalkan perbuatan dosanya, tapi….
Mereka tetap di belakangnya, tidak ‘menusuknya dari belakangnya’ atau berusaha menjatuhkannya.
Dan itu bukanlah kehinaan.
Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menyebutkan pandangan orang-orang di zaman jahiliah:
إن مخالفة ولي الأمر وعدم الانقياد له فضيلة، والسمع والطاعة له ذل ومهانة
“Menyalahi pemimpin dan tidak tunduk kepadanya adalah keutamaan, sedangkan mendengar dan menaatinya adalah kerendahan dan kehinaan.” (Masail Al-Jahiliyyah)
Orang-orang jahiliah menganggap tunduk dan menaati pemimpin adalah kehinaan, sedangkan membangkang kepadanya adalah kemuliaan.
Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata:
فخالفهم رسول الله ﷺ وأمر بالسمع والطاعة لهم والنصيحة، وغلظ في ذلك وأبدى وأعاد.
“Namun Rasulullah ﷺ menyalahi mereka dan memerintahkan untuk mendengar, menaati, dan menasihati pemimpin. Beliau ﷺ bersikap keras terhadap demikian, dan menampakkannya, serta mengulanginya.” (Masail Al-Jahiliyyah)
Siberut, 17 Rabi’ul Tsani 1445
Abu Yahya Adiya






