Sufi dan Menghinakan Diri

Sufi dan Menghinakan Diri

Seorang Sufi pergi ke pasar dengan memikul satu karung buah-buahan yang disukai anak-anak.

Setelah sampai di pasar, ia berkata kepada setiap anak kecil yang lewat:

أبصق علي وجهي حتى أعطيك جوزة

“Ludahi wajahku, niscaya akan kuberi engkau buah.”

Lalu anak kecil itu meludahi wajah Sufi itu, kemudian Sufi itu memberinya buah.

Tidak berapa lama, lewat lagi anak kecil yang lain. Si Sufi itu menawarkan kepadanya untuk meludahinya dengan imbalan akan mendapatkan buah. Lalu si anak itu meludahi wajah Sufi itu, kemudian si Sufi pun memberinya buah.

Demikianlah, ludah anak-anak kecil di pasar mampir ke wajah Sufi itu, karena mereka menginginkan buah tersebut. Dan Sufi itu pun merasa senang.

Kisah ini disebutkan dalam kitab Al-Hikam karangan Ibn ‘Ajibah.

 

Sufi yang lain menceritakan kegembiraannya:

مَا سُرِرْتُ فِي إِسْلَامِي إِلَّا ثَلَاثَ مَرَّات

“Aku tidak pernah bergembira dalam keislamanku kecuali tiga kali:

كُنْتُ فِي سَفِينَةٍ، وَفِيهَا رَجُلٌ مِضْحَاكٌ. كَانَ يَقُولُ: كُنَّا فِي بِلَادِ التُّرْكِ فَأَخَذَ الْعِلْجُ هَكَذَا – وَكَانَ يَأْخُذُ بِشَعَرِ رَأْسِي وَيَهُزُّنِي – لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي تِلْكَ السَّفِينَةِ أَحَدٌ أَحْقَرُ مِنِّي

Aku pernah di suatu kapal dan di situ ada seseorang yang suka bercanda. Ia bercerita, ‘Kami pernah berada di negeri Turki lalu musuh yang kuat memegang begini.’ Ia berkata demikian sambil memegang rambutku dan menggerakkan badanku. Ia berbuat demikian karena tidak ada di kapal tersebut orang yang lebih hina daripada diriku.

وَالْأُخْرَى: كُنْتُ عَلِيلًا فِي مَسْجِدٍ. فَدَخَلَ الْمُؤَذِّنُ، وَقَالَ: اخْرُجْ. فَلَمْ أُطِقْ، فَأَخَذَ بِرِجْلِي وَجَرَّنِي إِلَى خَارِجٍ.

Pada kesempatan lain: aku pernah sakit di masjid lalu masuklah muazin dan berkata, ‘Keluarlah!’, tetapi aku tidak sanggup. Maka muazin itu pun memegang kakiku lalu menyeretku ke luar masjid.

وَالْأُخْرَى: كُنْتُ بِالشَّامِ وَعَلَيَّ فَرْوٌ. فَنَظَرْتُ فِيهِ فَلَمْ أُمَيِّزْ بَيْنَ شَعَرِهِ وَبَيْنَ الْقَمْلِ لِكَثْرَتِهِ. فَسَرَّنِي ذَلِكَ.

Dan pada kesempatan lain: aku pernah di Syam mengenakan pakaian dari bulu binatang. Lalu aku memandangnya, maka aku pun tidak bisa membedakan antara bulu dengan kutu karena saking banyaknya. Itu pun membuatku senang.”

Dalam riwayat lain:

 كُنْتُ يَوْمًا جَالِسًا. فَجَاءَ إِنْسَانٌ فَبَالَ عَلَيَّ.

“Suatu hari aku sedang duduk. Lalu datanglah seseorang mengencingiku!” (Madarij As-Salikin)

Lihatlah, mengencinginya!

Seakan-akan tidak ada harga pada dirinya!

Seorang tokoh Sufi pernah berkata:

الصوفي كالأرض يطرح عَلَيْهَا كُل قبيح.

“Seorang Sufi itu seperti tanah yang dibuang di atasnya segala yang buruk.” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)

Apakah ini ajaran Islam? Apakah ini sunnah Nabi?

Apakah termasuk ajaran Islam, merelakan diri untuk diludahi?

Apakah termasuk sunnah Nabi, merasa gembira diusir karena berpenampilan kotor?

Apakah termasuk sunnah Nabi, merasa senang karena tidak bisa membedakan antara bulu dan kutu?

Apakah termasuk sunnah Nabi, menghinakan diri sendiri?

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

“Dan sungguh, telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70)

Allah telah memuliakan manusia dengan banyak kelebihan, maka bagaimana bisa ia malah merendahkan dan menghinakan dirinya sendiri?

Nabi ﷺ bersabda:

لَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ

“Tidak sepantasnya seorang mukmin menghinakan dirinya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dr Muhammad Al-Muqaddam berkata:

فبلا شك أن التربية الصوفية تغرس احتقار النفس والإحساس بالدونية، وتثبط وتقتل الهمم، وتدمرها.

“Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan kaum Sufi menanamkan kehinaan pada diri sendiri dan perasaan rendah, serta menghalangi, mematikan, dan menghancurkan semangat meraih kemuliaan.” (Silsilah ‘Uluw Al-Himmah)

 

Siberut, 28 Syawwal 1443

Abu Yahya Adiya