
“Saya nikahkan kamu dengan putriku dengan maskawin seperangkat alat salat hutang!”
Bolehkah mahar tidak diserahkan ketika akad nikah?
Atau, lebih ‘parah’ dari itu, bolehkah mahar tidak disebutkan sama sekali ketika akad nikah?
Sebelum membahas itu, perlu kita ketahui bahwa mahar adalah hak penuh wanita.
Allah berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berilah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa: 4)
Dan Dia berfirman:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
“Maka karena kenikmatan yang telah kalian dapatkan dari mereka, berikanlah maskawin mereka kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa jika ternyata di antara kalian telah saling merelakannya, setelah ditentukan mahar itu.” (QS. An-Nisa: 24)
Dua ayat ini dan masih ada lagi ayat-ayat lain yang senada dengan keduanya menunjukkan bahwa mahar itu merupakan hak penuh istri yang tidak boleh direcoki oleh siapa pun, dan dengan alasan apa pun.
Kalau memang itu hak penuh istri, maka tidak boleh orang tuanya, walinya, keluarganya, maupun suaminya mengambil mahar kecuali bila ia telah merelakannya.
Itulah kedudukan kaum wanita dalam agama kita. Begitu terhormat dan mulia.
Apa Hukum Mahar Yang Tidak Disebutkan Ketika Akad?
Kalau memang mahar merupakan hak penuh wanita, lantas bolehkah melangsungkan pernikahan tanpa menentukan atau menyebutkan bentuk dan nominal maharnya?
Jika mahar disebutkan atau ditentukan ketika akad nikah, maka tentu saja itu diperbolehkan. Dan itulah yang umumnya dilakukan oleh umat Islam dalam pernikahan mereka.
Namun, jika mahar tidak disebutkan atau tidak ditentukan ketika akad nikah?
Itu pun diperbolehkan berdasarkan nas Al-Quran dan kesepakatan para ulama.
Ibnu Rusyd berkata:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نِكَاحَ التَّفْوِيضِ جَائِزٌ، وَهُوَ أَنْ يُعْقَدَ النِّكَاحُ دُونَ صَدَاقٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:
“Para ulama sepakat bahwa nikah tafwidh adalah diperbolehkan, yakni melakukan akad nikah tanpa menyebutkan mahar. Itu berdasarkan firman-Nya (QS. Al-Baqarah: 236):
{لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً} [البقرة: 236]
“Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan isteri-isteri kalian yang belum kalian sentuh atau belum kalian tentukan mahar mereka.” (Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtashid)
Karena itu, bila mahar telah disebutkan atau ditentukan ketika akad nikah, maka suami wajib memberikan mahar tersebut kepada istrinya, sesuai dengan bentuk dan nominal yang telah ditentukan.
Adapun jika mahar tidak disebutkan atau tidak ditentukan?
Suami tetap wajib memberikan kepada istrinya mahar yakni mahar yang semisal dengan mahar kerabat wanita istrinya dari pihak bapaknya, seperti saudari-saudarinya atau bibi-bibinya.
Kalau mahar bibinya yakni mobil, misalnya, maka ia pun harus memberikan kepada istrinya mobil sebagai maharnya.
Apa Hukum Menunda Pembayaran Mahar?
Jika mahar diserahkan ketika akad nikah yakni tunai, maka tentu saja itu diperbolehkan. Dan itulah yang umumnya dilakukan oleh umat Islam dalam pernikahan mereka.
Namun, jika mahar tidak diserahkan ketika akad nikah?
Apakah boleh seorang pria menunda pembayaran mahar?
Apakah boleh ia tidak menyerahkan mahar secara tunai, yakni dengan mencicil atau hutang?
Imam Ibnu Qudamah berkata:
وَيَجُوز أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ مُعَجَّلًا، وَمُؤَجَّلًا، وَبَعْضُهُ مُعَجَّلًا وَبَعْضُهُ مُؤَجَّلًا؛ لِأَنَّهُ عِوَضٌ فِي مُعَاوَضَةٍ، فَجَازَ ذَلِكَ فِيهِ كَالثَّمَنِ
“Mahar boleh disegerakan dan boleh ditunda. Boleh juga sebagiannya disegerakan, sedangkan sebagian yang lain ditunda. Karena, mahar adalah imbalan dalam hubungan timbal balik suami istri. Makanya itu boleh disegerakan atau ditunda, seperti halnya harga.” (Al-Mughni)
Jika seorang pria mengalami kendala, seperti kemiskinan, penyakit, bencana alam, atau yang semacamnya, sehingga ia tidak bisa menyerahkan mahar secara tunai, maka boleh ia mengakhirkan pembayaran mahar, baik semuanya atau sebagiannya, kalau memang si wanita menyetujuinya.
Catatan:
- Walaupun mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi yang lebih baik adalah menyegerakannya.
Karena, asalnya seorang istri sudah menerima mahar sebelum suaminya mencampurinya. Bahkan, seorang istri boleh menolak ajakan suaminya untuk bercampur sebelum ia menerima maharnya.
Makanya, tatkala ‘Ali bin Abi Thalib hendak menemui Fathimah usai akad nikah, Nabi ﷺ berkata kepadanya:
أَعْطِهَا شَيْئًا
“Berilah ia sesuatu (mahar)!”
‘Ali menjawab:
مَا عِنْدِي شَيْءٌ
“Aku tidak punya apa-apa.”
Nabi ﷺ bertanya:
أَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟
“Mana baju besi Al-Huthamiyyah milikmu?”
‘Ali menjawab:
هِيَ عِنْدِي
“Itu ada padaku.”
Beliau ﷺ pun bersabda:
فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ
“Berikan itu kepada Fathimah!” (HR. Abu Daud dan An-Nasai)
- Jika seorang pria hendak menunda pembayaran mahar, maka harus ada kejelasan waktu pembayarannya atau pencicilannya.
Karena itu, jika si pria berkata, “Saya akan membayar mahar jika turun hujan”, atau “Saya akan bayar kalau si fulan mati”, dan semacamnya, maka yang demikian tidak sah dan tidak diperbolehkan. Sebab, siapa yang tahu kapan turun hujan? Siapa yang tahu kapan seseorang mati?
Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:
فلا يصح التأجيل بالتفاق المذاهب الأربعة, لتفاحش الجهالة
“Maka, tidak sah menunda pembayaran mahar seperti itu, berdasarkan kesepakatan 4 mazhab, karena ketidaktahuan yang parah.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)
Kesimpulan
Dari pembahasan tadi bisa kita simpulkan bahwa:
- Mahar itu merupakan hak penuh seorang istri. Karena itu, tidak boleh siapa pun mengambilnya kecuali dengan izin dan ridanya.
- Boleh melangsungkan pernikahan tanpa menentukan atau menyebutkan bentuk dan nominal mahar.
- Boleh menyegerakan atau mengakhirkan pembayaran mahar, jika memang istri rida.
Siberut, 29 Muharram 1444
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
- Shahih Fiqh As-Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.






