“Kalau memang aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga-Mu!
Dan kalau memang aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka masukkanlah aku ke neraka-Mu!
Aku beribadah kepada-Mu semata-mata karena cinta kepada-Mu. ”
Konon, itulah perkataan yang muncul dari lisan seorang Sufi di masa lalu.
Karena itulah, sebagian kaum Sufi belakangan sering menyatakan, “Ibadah itu harus ikhlas! Tidak boleh karena mengharapkan balasan atau takut ancaman!”
Benarkah perkataan mereka?
Apakah kita tidak boleh beribadah kepada Allah karena mengharapkan nikmat yang ada di surga-Nya?
Apakah kita tidak boleh beribadah kepada Allah karena takut siksa yang ada di neraka-Nya?
Apakah itu bertentangan dengan keikhlasan?
Allah berfirman:
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعً
“Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. ” (QS. Al-A’raaf: 56)
Apa maksud rasa takut dan penuh harap ini?
Imam Ath-Thabari menjelaskan ayat ini:
وَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ وَالْعَمَلَ، وَلَا تُشْرِكُوا فِي عَمَلِكُمْ لَهُ شَيْئًا غَيْرَهُ مِنَ الْآلِهَةِ وَالْأَصْنَامِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Murnikanlah doa dan amal untuk-Nya dan jangan menyekutukan-Nya sedikit pun dengan sembahan-sembahan, patung-patung, dan selain itu dalam amalan kalian.
وَلْيَكُنْ مَا يَكُونُ مِنْكُمْ فِي ذَلِكَ خَوْفًا مِنْ عِقَابِهِ وَطَمَعًا فِي ثَوَابِهِ
Hendaknya yang muncul dari kalian ketika beramal adalah takut kepada siksa-Nya dan mengharap balasan-Nya.
وَإِنَّ مَنْ كَانَ دُعَاؤُهُ إِيَّاهُ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِالْآخِرَةِ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ، لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَخَفْ عِقَابَ اللَّهِ وَلَمْ يَرْجُ ثَوَابَهُ لَمْ يُبَالِ مَا رَكِبَ مِنْ أَمْرٍ يَسْخَطُهُ اللَّهُ وَلَا يَرْضَاهُ
Dan siapa yang doanya kepada-Nya tidak seperti itu, maka ia di akhirat termasuk orang yang mendustakan. Sebab, *orang yang tidak takut kepada siksa Allah dan tidak mengharap balasan-Nya, ia tidak akan peduli perbuatan yang Allah murkai dan tidak Dia ridai yang ia lakukan*. ” (Jami’ Al-Bayan fii Ta’wiil Al-Quran)
Kalau seseorang sudah tidak takut siksa Allah dan tidak mengharap balasan-Nya, maka ia tidak akan peduli melakukan dosa apa pun. Ia tidak akan peduli betapa pun besarnya murka-Nya terhadapnya.
Karena itu, bukankah rasa takut kepada siksa-Nya dan mengharapkan rahmat-Nya adalah sikap yang terpuji?
Ya, tentu saja terpuji. Bahkan seharusnya dua sikap itu kita pertahankan sampai mati.
Suatu hari Nabi menjenguk seorang anak muda yang sedang sekarat.
Beliau bertanya kepadanya:
كَيْفَ تَجِدُكَ؟
“Bagaimana engkau mendapati dirimu? ”
Ia menjawab:
أَرْجُو اللَّهَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَخَافُ ذُنُوبِي
“Aku sangat mengharapkan Allah, wahai Rasulullah! Dan aku takut akan dosa-dosaku. ”
Maka Nabi bersabda:
لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو، وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
“Tidaklah berkumpul dua perkara tadi dalam hati seorang hamba di saat-saat seperti ini, melainkan Allah akan memberikan kepadanya apa yang ia harapkan, dan memberikan kepadanya rasa aman dari apa yang ia khawatirkan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kesimpulannya:
1. Beribadah kepada Allah karena mengharap surga, dan balasan lain dari-Nya adalah perbuatan yang terpuji dan tidak bertentangan dengan keikhlasan.
2. Beribadah kepada Allah karena takut neraka dan siksa lain dari-Nya adalah perbuatan yang terpuji dan tidak bertentangan dengan keikhlasan.
Itulah yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan bagi sufi tadi, itu merupakan perbuatan yang tercela. Makanya ia ingin dijauhkan dari surga dan dimasukkan ke neraka!
Seandainya kaum sufi menyimpan keyakinan mereka itu untuk diri mereka sendiri, tentu itu masih ‘ringan’. Namun, kenyataannya, mereka mencela orang yang tidak mengikuti jejak mereka itu!
Seorang tokoh sufi, Arsalan Ad-Dimasyqi berkata:
من عبد الله لأجل الجنة والنار فهو طاغوت
“Siapa yang beribadah kepada Allah, karena ingin mendapatkan surga atau jauh dari neraka, maka ia adalah tagut! ” (Al-Anwar Al-Qudsiyyah fii Manaqib An-Naqsyabandiyyah)
Tagut!
Sama seperti Iblis, Fir’aun, dan dedengkot kekafiran lainnya!
Siberut, 14 Jumada Al-Ulaa 1442
Abu Yahya Adiya






